Booming Financial Technology (Fintech) telah membawa perubahan pada perilaku konsumtif masyarakat terutama dalam memenuhi kebutuhan pinjaman yang praktis dan cepat. Per Oktober 2018 sudah ada 73 perusahaan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Republik Indonesia, namun baru 1 perusahaan yang berijin resmi OJK.
Bagi perusahaan yang terdaftar di OJK wajib mengurus ijin perusahaan agar memiliki kegiatan operasional yang permanen. Disamping itu Fintech yang sudah berijin akan memberikan ruang yang cukup bagi perlindungan konsumen.
Saat ini juga seiring booming fintech member layanan pinjaman online, banyak kasus muncul terutama terkait dengan perlindungan konsumen seperti cara penagihan yang tidak professional dan pola pengumpulan dana masyarakat yang sulit untuk dikontrol karena kurang transparan dan lemah dari segi hukum dan perlindungan konsumen.
Seperti diketahui sesuai dengan Undang-undang perlindungan konsumen bahwa konsumen wajib mendapat informasi yang tepat dan benar mengenai produk atau jasa yang ditawarkan, manfaat suatu produk, layanan purna jual, dan perlindungan hukum apabila terjadi sesuatu konflik di kemudian hari.
Di satu sisi konsumen ingin mendapat pinjaman secara mudah dan cepat tapi lupa akan pedoman dalam memilih fintech secara benar. Tapi di sisi lain konsumen lupa akan akibat yang timbul di kemudian hari karena tergiur dan terbujuk rayuan promo fintech secara masif. Hal-hal seperti ini harus diatur oleh otoritas terkait dalam hal ini OJK agar keberlangsungan bisnis fintech terjamin dan perlindungan konsumen pun diperhatikan serius.
Isu perlindungan konsumen menjadi salah satu hal yang strategis di era ekonomi digital terutama dalam bisnis fintech. Syarat pengajuan ijin ke OJK harus memenuhi 27 SOP yang salah satu diantaranya harus memperhatikan perlindungan konsumen dalam kegiatan bisnisnya. Apabila isu strategis perlindungan konsumen tidak dipenuhi maka perusahaan fintech tidak akan mendapat ijin dari OJK. Walaupun fintech sudah terdaftar namun ruang geraknya terbatas karena tidak bisa secara sembarang menjalan kegiatan bisnisnya. Baru bisa menjalankan bisnis secara mandiri setelah mendapat ijin resmi dari OJK.
Beberapa contoh kasus perlindungan konsumen yang sedang mencuat ke permukaan seiiring booming fitench adalah suku bunga pinjaman online yang tinggi dan cara penagihan angsuran tertunggak konsumen yang kurang manusiawi. Disinilah dibutuhkan ketelitian dan kejelian dari masyarakat dalam memilih fintech disamping kehadiran otoritas terkait dalam mengontrol kegiatan fintech agar masyarakat tidak jadi korban.
Titik berat perlindungan konsumen sebenarnya berangkat dari istilah pembeli adalah raja. Konsumen pada prinsipnya adalah menjadi para pejuang bagi keuntungan perusahaan fintech itu sendiri. Sangatlalh tidak adil jika konsumen dibujuk dan dirayu dengan promo proses cepat tapi dengan bunga mengcekik, namun kemudian diperas dengan cara-cara yang tidak sopan bahkan cenderung meneror sehingga hak-hak konsumen untuk bebas dari rasa takut menjadi tidak terpenuhi.
Per April 2018, OJK sudah menerima lebih dari 500 pengaduan, hingga tulisan ini dibuat mungkin jumlah pengaduan sudah mencapai ribuan jumlahnya terkait dengan layanan fintech mulai dari suku bunga mengcekik sampai pada cara penagihan yang tidak manusiawi dan tidak sopan. Bahkan OJK secara terang-terangan akan membasmi fintech yang seenaknya sendiri menjadikan masyarakat sebagai objek kekerasan finansial.
Fintech yang berbeda dari perbankan dalam fungsi intermediasi memang menjadi pesaing utama perbankan konvensional dalam industry sektor keuangan 4.0. Perbankan sangat ketat dalam hal perlindungan konsumen begitu juga sejatinya fintech bisa meniru perbankan dalam hal perlindungan konsumen terutama dalam hal kualitas layanan yang multidimensional seperti responsive, empathy, assurance dan tangible.
Hingga September 2018 jumlah kredit yang sudah disalurkan fintech mencapai hampir Rp14 triliun. Jumlah tersebut akan terus meningkat dari waktu ke waktu. Dalam mendukung perlindungan konsumen, fintech diharapkan meningkatkan inklusi keuangan dan literasi keuangan kepada masyakarat Indonesia sehingga keberlangsungan rantai bisnis ini dapat berlanjut terus menerus sesuai trek yang benar di bawah pengawasan OJK.
Dengan menjalankan peran inklusi keuangan dan literasi keuangan kepada masyarakat diharapkan fintech berkembang sesuai trek yang sudah ditentukan OJK terutama dalam perspektif perlindungan konsumen. Simbiosis mutualisme fintech dan konsumen menciptkan sinergitas bagi berkembangnya industri keuangan 4.0 di Indonesia. #amanbertransaksi
1 comments so far
Faktor "kepepet" oleh berbagai kebutuhan ditengah situasi seperti sekarang ini, terkadang menjadi penyebab tertutupnya wawasan masyarakat terhadap resiko yang akan dihadapi di kemudian hari.
Pinjaman online dengan kebijakan semaunya seperti uraian di atas, salah satu yang dianggap sebagai solusi mendapatkan pinjaman atau dana cepat.
EmoticonEmoticon